• Cinta di Ujung Sajadah :)

    Senin siang, sengaja ke shopping untuk mencari buku karangan dosen tetangga sebelah yang mirip dengan skripsiku.
    Nyari sana sini.
    Ternyata tidak ketemu.
    Hmm..usut punya usut, merunut informasi dari sang asdos, buku itu baru bisa ditemui di 2 toko buku ternama di Jogja. Sebut saja Gara-gara Media dan Mas-Mas yang pakai Toga. Artinya, mau muterin shopping 10 kali pun buku itu tidak akan ketemu.
    Keinginan mendapat buku dengan harga yang lebih miring, pupus sudah.
    Lalu, mata tergoda membeli yang lain (fenomena wajar dikalangan para akhwat, yang lapar mata :p)

    Ada 3 judul buku yang menarik perhatianku.
    1. Ayahku (bukan) Pembohong karya Tere Liye
    2. Sepatu Dahlan, seri pertama trilogi Dahlan Iskan.
    3. Cinta di Ujung Sajadah Asma Nadia.

    Hmm cukup lama berpikir.
    Ketiga buku ditawarkan dengan harga yang Alhamdulillah terjangkau isi dompet (Alhamdulillah habis dapat supply dari Ibuk). Ketiganya menarik. Bimbang. Padahal waktu sudah mendekati ashar dan segera harus beralih melanjutkan perjalanan ke Nurul Ashri.

    Keputusan harus diambil.
    Mba-mba berkerudung biru tua itu tidak akan betah meladeni pertanyaanku yang bermacam-macam kalau  tidak jadi beli. Akhirnya, baiklah... Cinta di Ujung Sajadah. Bungkus!

    Allah seperti membimbingku untuk memutuskan membeli buku ini.
    Dua buku yang lain tak kalah menarik.
    Suer, kalau tidak sayang uang, pengen beli 3-3nya langsung. Tapi, harus main prioritas. Mana buku Pak Dosen tetangga sebelah belum juga jadi terbeli.

    Buku ini, meskipun judulnya cinta, bukan membahas cinta monyet a la remaja masa kini.
    Buku ini menceritakan...benar, tentang Cinta. Cinta yang tumbuh dewasa tanpa sosok perempuan teduh bernama, Ibu.
    Cinta yang susah payah membayangkan seperti apa wajah Ibu, seperti apa perangai Ibu.
    Bertanya, pada siapa? Ayahnya tak lagi hangat.
    Mama Tiri dan Saudara kembarnya, gak banget!
    Mbok Nah, pembantu kesayangannya, berusaha menutupi apa yang sebenarnya. Hingga, tiba hari itu, hari dimana Cinta berusia 17 tahun.
    Hari dimana saat itu Cinta menetapkan hati untuk seterusnya berpakaian muslimah, demi memberi bakti pada Ibunda yang dikiranya telah meninggal.
    Ternyata, Ibunda Cinta masih hidup. Hidup bersama teka teki.
    Maka, naluri seorang anak, yang tiada pernah berjumpa sosok Bunda, dan sekonyong-konyong mendapati kemungkinan pelukan Ibunda masih tersedia untuknya, segera memecahkan teka-teki itu.
    Pencarian yang panjang.
    Letih dan mengguras air mata.
    Hanya Doa dan Sholat yang mengguatkan Cinta.
    Hingga, kepingan akhir teka-teki itu ditemukan.
    16 tahunnya penuh kebohongan dan cerita itu ditutup dengan keterpaksaan Ibunda Cinta untuk masih juga berbohong.

    Apa yang aku dapat?
    Sebuah refleksi.
    Seberapa keberadaan Ibu disamping kita telah kita syukuri adanya?
    Seberapa bakti yang telah kita tunaikan? Bahkan sekedar membuatnya tidak harus 2x meminta tolong sesuatu kepada kita?
    Seberapa...kita meluangkan waktu, untuk sekedar menyapa lebih dalam dari sekedar, "wes dhahar durung, Buk?"
    Seberapa, kita, mencoba memahami, apa maksudnya, tidak hanya egois ingin dipahami apa maksud kita?

    Sebuah refleksi.
    21 tahun hidup bersama.
    Moment indah apa yang tiada pernah terlupa?
    punyakah?
    jangan-jangan semua biasa saja. monoton.
    takluk pada rutinitas dan kesibukan, hampa?
    Astaghfirullah....

    Ibu, meskipun dengan cerewetnya, adalah sosok, yang tiada pernah bisa tergantikan, dengan apapun, dengan siapapun.
    Semoga, aku tiada pernah lupa, menaruh Ibuku pada satu ruang khusus di hatiku.
    Dan, semoga kelak, aku mampu menjadi sosok dimana anak-anakku meletakkanku, di satu sisi sakral di hati mereka :)
    Insya Allah

0 komentar:

Posting Komentar