• I have loved you for a thousand years; I love you for a thousand more.


    Diusia yang semakin beranjak dewasa, aku mulai menempatkan diri pada beberapa posisi yang mungkin akan aku jalani pada masa-masa mendatang. Membayangkan. Bagaimana aku saat ini jika mendadak harus berada pada posisi dan peran lain yang bisa jadi sangat membutuhkan sebuah tanggungjawab besar? Cukupkah kapasitasku?

    Ibu. Mama. Bunda. Apapun namanya. Adalah sosok yang sehari-hari ini menjadi begitu inspiratif. Mungkin karena aku yang sensitive. Atau sok reaktif terhadap perubahan posisi yang mungkin akan dijalani pada waktu-waktu ke depan.

    Menjadi sebuah hobi baru. Mengamati Ibuku lekat-lekat. Pada beberapa situasi, cenderung diam dan mendengar saja, lebih baik pasif sementara. Untuk menjaga obyektivitas penelitian sok ilmiah ini.

    Lucu ya, jika mungkin saja ada rapot untuk menilai kinerja Ibu di rumah. Seperti rapot yang digunakan untuk mengukur kompetensi afektif, psikomotorik dan kognitif kita dalam Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah. Dan, anak-anak jadi kepala sekolah yang berhak mengisi rapot Ibu-ibu kita. Apa yang hendak aku tulis? Bagaimana menentukan nilai minimal, nilai rerata dan memberikan ranking-nya? Sepertinya tak akan pernah mampu menuliskan.

    Karena Ibu. Mama. Bunda. Apapun namanya. Seperti hujan di gurun pasir. Atau seperti pelangi selepas gerimis. Indah saat kita butuhkan. Namun, tak banyak Ibu yang mendapatkan kesempatan, dibutuhkan sepenuhnya oleh sang anak. Dan memahami sepenuhnya makna membutuhkan itu. Betapa banyak yang tak mengerti, ribetnya permintaan anak adalah bukti, bahwa ia membutuhkan Ibunya. Tangis anaknya dikala sakit adalah mengharap belaian tangan ampuh Ibu untuk mengusir kecemasan hati. Beberapa yang lain justru, tidak pernah mau tahu bahwa anak membutuhkan kehadiran ibunya, tidak hanya uangnya. Dirasa perannya cukup dengan menghadirkan tangan-tangan lain yang harus siap mengasuh anaknya kala sakit dan sehat.

    Apakah lalu bisa diambil kesimpulan sepihak apabila ternyata ibu mama bunda apapun namanya tidak mengetahui makna membutuhkan, sebagai yang tidak menjadi sebaik-baik Ibu? Tidak. Sungguh tidak. Ibu mama bunda apapun namanya tetap perlu mendapat penghormatan tertinggi dari anak-anak yang dilahirkannya dengan pesakitan yang sangat!

    Seperti anak-anak Sekolah Dasar ketika bel sekolah berbunyi, berhamburan keluar kelas, mencari dua tangan terbuka yang siap memeluknya. Begitulah seharusnya kita. Cobalah, membentangkan dua tangan, membukanya lebar. Siap untuk memeluk Ibu, setelah dulu Ibu terlebih dahulu telah membentangkan tangannya untuk kita. Memeluknya erat, menerimanya sebagai sebaik-baik yang Allah hadiahkan untuk kita. Menghargai diatas apapun di dunia ini.
    ~~~

    Random. Ini tentang Ibu. Bagaimana ketika aku membayangkan harus menjadi sosok Ibu pada waktu-waktu mendatang, jika Allah mengizinkan. Melakukan studi terhadap Ibu sendiri. Sok kemudian mengukur kinerja Ibu berdasar standar pemahamannya terhadap perasaan membutuhkan si anak kepadanya. Apapun hasilnya, apapun Ibu kita saat ini, beliau berhak mendapat penghargaan tertinggi dari kita, anaknya. Jika bukan kita yang memberi penghargaan, siapa lagi?

    Mom, I call you from my heart.
    Cause you give me something,
    This could be anything.
    Cause you know my heart. More than I ever know.
    When all my faith has gone, you bring it back to me.
    When I’m not sure of my priorities, you make it real to me.
    When I’m full of arrogance, uncertainty, when I can’t find a word, you teach my heart to speak.
    And, I’m running to you,
    Mom, I have loved you for a thousand years; I love you for a thousand more. And more. And more…


0 komentar:

Posting Komentar