• Oleh-Oleh dari Ngadinegaran, Pernikahan Ideologis

    Lagi-lagi, postingan tentang ini. 
    Setelah beberapa postingan lalu tentang pernikahan pula. Tak masalah. Karena pernikahan memang sangat sangat penting. Maka, mempelajari ilmunya menjadi suatu kebutuhan. Apalagi bagi mereka (atau kita, atau saya) yang hendak menikah, maka mempelajari ilmunya menjadi berhukum wajib, tidak lagi sunnah. Sebagaimana wajibnya ilmu kesehatan harus dipelajari bagi seorang dokter, ilmu hukum bagi lawyer dan ilmu masak bagi seorang chef. 

    Sebelum berangkat ke kajian ini, yang merupakan kajian spesial bagi beberapa akhwat pilihan yang dirasa sudah saatnya, mendapat satu kabar baik dari seorang saudari. Subhanallah....tak kira kami-kami ini masih kecil e, jebul, sudah ada yang akan segera menggenapkan separuh agama. Semoga Allah mudahkan proses hingga ijab-nya. Aamiin :)

    Langsung saja ke notulensi kajian.
    Menjadi notula memang salah satu kesukaanku, karena sudah pasti bisa konsen dan menjalankan amanah sekaligus punya catatan pribadi yang komplit. Maka, ketika posisi notula belum terisi, langsung deh mau mau banget diminta ngisi :D

    Kajian kali ini diisi oleh Ummi Dwi Churnia Handayani, S.Sos salah satu ummahat beken di jama'ah kita :)
    Judul kajiannya sih "Pernikahan Ideologis" namun oleh Ummi Wiwik (nama akrab beliau), slide shownya diberi judul "Pernikahan Untuk Menegakkan Kalimah Allah". 

    Sebagai prolog, Ummi mengingatkan kami dengan salah satu pernyataan terkenal dari Ust Didik Purwodarsono.
    "Bagi yang belum menikah, pernikahan itu adalah sebuah kemungkinan." Mengapa bisa demikian?
    Pertama, Janji Allah bahwa setiap makhluk itu berpasangan memang benar, namun, berpasangannya tidak musti di dunia. Jadi, bagi yang belum menikah, pernikahan di dunia itu adalah sebuah kemungkinan. Karena ada juga tho yang meninggal sebelum bertemu dengan pasangannya. 
    Kedua, Pernikahan itu adalah murni Hak Allah. Jodoh pun murni hak Allah. Allah yang punya kewenangan mutlak menentukan kapan kita akan diberikan pasangan, lalu menikah. Jadi, tidak perlu terlalu pusing memikirkan kapan atau siapa, karena itu bukan hak kita. Hak kita hanyalah memperbaiki diri terus dan terus.
    Ketiga, "Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan perempuan yang keji untuk laki-laki keji" memang benar. Namun tidakkah kita ingat bagaimana sholihahnya istri Fir'aun dan bagaimana thagut-nya si Fir'aun? Bagaimana patuhnya Nabi Nuh a.s dan bagaimana ingkarnya istri serta anaknya? Jadi, pedoman baik dan buruk itu ada pada pandangan Allah, bukan atas penilaian manusia. 

    lalu, jika pernikahan dunia adalah kemungkinan, apa masih perlu mempersiapkan diri? Kan bisa jadi tidak akan menikah di dunia?! Ya tetap penting dong! Belajar ilmu pernikahan sangat penting, sebagaimana pentingnya kedudukan menikah di mata Islam. 

    Pertama, menikah adalah taklifullah atau pembebanan yang diberikan oleh Allah kepada manusia, didukung dengan anjuran dari Rasulullah. 
    "...barang siapa yang benci terhadap sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku." (HR Imam Bukhari)

    Kedua, pernikahan itu dapat membentuk mas'uliyah (kepemimpinan) dan tanggungjawab seorang manusia. Ketika menikah, maka akan ada tanggungjawab baru yang terbebankan pada seorang manusia. Bagi laki-laki maka tanggungjawabnya adalah sebagai qowwam. Bagi seorang perempuan maka tanggungjawabnya adalah sebagai seorang istri yang memiliki kewajiban patuh terhadap suami serta tanggungjawab rumahtangga lainnya. Dalam Islam, laki-laki memang berperan sebagai qowwam (pemimpin), namun mekanisme syuro dalam keluarga juga diutamakan. 

    Ketiga, Pernikahan merupakan sarana menuju Masyarakat Muslim. Kita telah mafhum bahwa keluarga adalah institusi terkecil yang membangun masyarakat sehingga menikah dalam koridor Islam, insyaAllah merupakan sarana membentuk masyarakat muslim yang baik.

    Keempat, Pernikahan merupakan salah satu upaya mencapai keseimbangan hidup. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebutuhan dasar manusia. Fitrah manusia. Sehingga apabila ada ajaran yang melanggar fitrah manusia, itu pasti bukan ajaran Islam. Bagi manusia, menikah adalah kebutuhan fitrah, sehingga Islam sangat mengedepankan pernikahan dan menghukum keras perzinaan. 
    "Rasulullah bersabda, barang siapa yang telah menikah maka ia telah menyempurnakan setengah agama. Maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah dalam setengahnya." (HR Imam Baihaqi)

    Sedemikian pentingnya pernikahan dalam kacamata Islam, sudah seharusnya dijaga dari kemudhorotan. Dimaksimalkan keberkahannya. 
    Dimulai dengan meluruskan kembali niat-niat kita. Bahwa menikah adalah ibadah, untuk menegakkan kalimah Allah. 
    Jika sudah sampai pada masanya, maka memilihlah calon yang terbaik agamanya. 
    Lalu, jaga agar prosesnya tetap barokah, mulai dari ta'aruf, khitbah hingga walimah. Patuhi adabnya. Jaga hatinya. Berkomitmenlah dengan batasannya.
    JIka sudah menikah, jagalah semangat Islam dalam keluarga.Ajaran Islam harus senantiasa ditegakkan dalam rumah tangganya.

    Terakhir, Ummi wiwik berpesan, untuk senantiasa membaca kisah pernikahan para sahabat yang dimuliakan Allah. Bagaimana kisah Ali dan Fathimah. Kisah Ummu Sulaim dengan Abu Tholhah, Dan masih banyak kisah lainnya.

    Dalam kajian ini, Ummi banyak menyadarkan kami, bahwa militansi seorang kader akhwat baru akan terlihat jelas ketika sudah menikah dan memiliki anak. Bagaimana tetap berangkat syuro saat anaknya rewel, bagaimana bertahan dengan kesempitan duniawi dan tetap istiqomah, bagaimana mengupayakan semuanya tawazun, dll.
    Ummi juga banyak bercerita bagaimana style keluarga ikhwah pada masa-masa awal Tarbiyah di Yogyakarta. 
    Sungguh, kesempitan duniawi menjadi teman sehari-hari. Rumah kontrak, kecil, tidak ada alat pompa air, setiap hari menimba, naik motor kemana-mana, anaknya dibawa serta, hujan dilindungi dalam mantelnya. Subhanallah...
    Karena, saat itu, sungguh kata sholih/sholihah itu cukup menjadi peyakin hati untuk memilih.
    Berbeda dengan kondisi saat ini. Sholih/sholihah saja tidak cukup. Banyak sekali embel-embelnya. Sholih/sholihah, kerjanya dimana, lulusan apa, berapa gajinya, rumahnya bagaimana, dll
    Salah? Tidak.
    Namun, janganlah kemudian hal duniawi menjadi penghalang menggenapkan separuh agama. Cukup yang sholih/sholihah dan bisa membuat kita istiqomah di jalan ini. Yakin, jika kita sempit, maka Allah akan mendatangkan kelonggaran. Laba-laba yang terjebak saja bisa hidup, Allah kasih rizki, masa' manusia yang berakal dan bergerak tidak diberi rizki?! 

    Semoga bermanfaat dan semoga yang membaca segera Allah datangkan jodoh terbaiknya. Yang sholih/sholihah. Cukup :)

0 komentar:

Posting Komentar