Di pinggir pintu kamar Bapak Ibuku terpasang foto
jaman aku masih bayi. Fotonya mungil, piguranya mungil, aku juga masih mungil
saat itu. Sekarang? Tengil kali ya? :p
Tak terasa, foto itu diambil dengan kamera Bapak semasa
usiaku masih dalam hitungan pekan. Berarti kira-kira 20,5 tahun yang lalu.
Sudah lama sekali ya?
Waktu terus bergulir. Keadaan tak lagi sama antara
apa yang ada di tangkapan kamera itu dengan apa yang ada di hadapan kami
sekarang.
Jelas ya, aku tak lagi bayi putih mungil nan sipit
dalam gendongan ibuku. Mana kuat ibuku menggendongku sekarang?! Meskipun Ibuku
rajin minum susu tinggi kalsium pun tak akan membuat tulangnya mampu menahan
beban beratku saat ini.
Kini aku telah dewasa. Ya setidaknya dalam pandangan
masyarakat umum aku telah dewasa. Meskipun apa yang ada dalam diri dan sifat
keseharianku, masih saja konyol.
Ya, jaman ini telah berubah. Mode dress seperti yang
ibuku kenakan ketika menggendongku seperti dalam foto mungil itu, sudah tak
dapat ditemukan di butik modern.
Ketika, aku semakin sibuk mendefinisikan “dewasa itu
apa”.
Ketika, aku semakin sibuk mengikuti perkembangan
zaman, mulai dari teknologi, budaya, pemikiran, gaya hidup, pertemanan *tapi tidak untuk mode
fashion* .
Ketika itupula, kerinduan akan masa dimana moment
yang ditangkap kamera dalam foto mungil itu semakin muncul.
Karena ketika itu, Ibuku masih sangat muda.
Kini, seiring bertambahnya waktu. Satu dua uban aku
temui diantara rambut hitamnya.
Kini, seiring banyaknya merk krim pencegah penuaan
dini, diantara polesan krim penghilang 7 tanda penuaan, aku menemukan, gores
keriput di ujung matanya.
Diantara berkardus-kardus Anlene coklat, tetap saja
kutemui, Ibuku tak mau lagi sering-sering naik turun tangga.
Oh Allah Ya Ghoffar, maafkan aku. Aku lalai.
Diantara semua rutinitas ini. Seiring banyaknya tanggungjawab yang harus diampu
oleh Ibuku. Sejatinya, beliau telah bertambah tua. Kelelahan mungkin jadi
santapannya setiap hari. Kepenatan, bisa jadi tiada lagi dirasa. Maka, apa yang
sudah aku lakukan untuk mengobatinya????
Teringat, di hari ulangtahunku beberapa tahun lalu.
Pulang sekolah dengan menumpang bis jurusan Jogja-Prambanan dan turun di Jalan
Wonosari km 7. Buru-buru ingin melepas tas berat. Masuk rumah dan kutemui tiada
sesiapa. Sepi *meskipun ramai diluar*. Semua pergi dalam rutinitasnya
masing-masing. Ketika menjejakkan kaki di kamar. Sebuah kertas loose leaf
bermotif tertempel di kaca lemari buku. Guess what? Surat ucapan ulang tahun
yang dituliskan Ibuku. Dengan tulisan tangan yang tidak begitu cantik. Isinya
sederhana. Tapi sungguh membuat air mata ini meleleh lagi dan lagi ketika
mengingatnya. Sayang, ketika harus pindah rumah, aku tiada lagi menemukan surat
itu L
Ibu tak pernah lelah mengawasi perkembangan
anak-anaknya. Dari tahun ke tahun. Memberikan nasehat sesuai perkembangannya.
Namun, akulah yang lalai mengamati bahwa sosoknya telah menua. Ditempa lebih
dari 40 tahun perjuangan hidup yang tak mudah di awalnya. Nasehat apa yang
telah aku kerjakan????
Banyak cerita yang aku dengar dari Ibuku. Tentang
masa kecilnya yang jauh jauh jauuuuh sekali dibanding masa kecilku. Mengajarkan bagaimana harus bersyukur dengan
keadaan yang Allah titipkan saat ini. Mengajak untuk selalu melihat kebawah
dalam hal dunia. Dan melihat keatas dalam urusan akhirat kelak.
Perjalanan yang sering aku tempuh bersama Ibuku.
Tiga setengah jam dalam bis Jogja-Surabaya menuju Ngawi tempat adikku menuntut
ilmu. Ada begitu banyak hal yang tersampaikan. Aku menangkap pesan, besar
harapan Ibu akan kesuksesan anak-anaknya. Agar kelak cucu-cucunya tiada mengalami
masa sulit seperti dirinya dulu. Lalu, apa yang sudah aku lakukan demi mencapai
sukses itu????
Irhamna Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahim…
Ibu, dalam usiamu yang semakin bertambah,
percayalah, pahala Allah melipah ruah untukmu. Seiring ikhlasnya hatimu,
mengurus kami semua. Relakanlah waktumu mengurus kami, semoga Allah ganti
dengan yang lebih baik.
Mom, I Love You J
*meskipun kelu lidah ini menyampaikannya langsung padamu
*meskipun kelu lidah ini menyampaikannya langsung padamu
0 komentar: