• Halal dan Haram dalam Islam (bagian empat)

    Point Kedelapan, Niat Baik Tidak Menghapuskan Yang Haram
    Niat dapat mengubah berbagai hal yang mubah (halal) menjadi ibadah. Contohnya adalah ketika menyantap makanan dengan niat untuk mempertahankan kekuatan fisik agar bisa beribadah kepada Allah dengan lebih giat, maka kegiatan menyantap makanannya adalah ibadah. Sedangkan, niat sebaik apapun, motivasi setulus apapun, tidak dapat mengubah yang haram menjadi boleh dilakukan. Islam tidak pernah ridha bila hal yang haram dijadikan sarana untuk mencapai tujuan yang terpuji. Misalnya, seorang koruptor menyumbangkan sebagian hasil korupsinya untuk pembangunan masjid, maka, tetap tidak dapat mendatangkan syafaat dan tidak dapat menghapus dosa korupsi yang haram tersebut.

    “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mu’minun 51)


    Point Kesembilan, Hindari yang Syubhat supaya tidak terjerumus dalam yang Haram

    “…sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu…” (Al An’aam 119)
    Allah telah menjelaskan dengan rinci yang halal dan mengurai dengan rinci yang haram. Yang jelas-jelas halal tidak ada masalah untuk melakukannya. Yang jelas-jelas haram tidak ada toleransi untuk melanggarnya kecuali kondisi darurat. Jika ada hal yang menurut kita belum jelas nash (dalil) nya, atau pengetahuan kita yang belum sampai kepadanya, maka alangkah lebih baik apabila kita menghindarinya.


    Point Kesepuluh, Yang Haram adalah Haram untuk Semua
    Islam adalah agama yang universal, sehingga aturannya  pun bersifat universal. Begitu pula prinsip halal dan haram dalam Islam. Haramnya khamr berlaku bagi seluruh umat, tidak hanya bagi suku bangsa atau usia tertentu. Haramnya daging babi untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk yang vegetarian saja. Begitulah Islam menempatkan keadilan, dengan mendudukkan sejajar seluruh manusia dalam satu tingkatan yaitu wajib menghindari yang haram dan membudayakan yang halal. Setinggi apapun pangkat seorang hamba-NYA tidak menjadikannya mendapat dispensasi dari hokum haramnya suatu zat/benda/perilaku.  


    Point Kesebelas, Situasi Darurat Membuat yang Haram Jadi Boleh
    Islam, sangat keras terhadap aturan haram dan halal. Namun, Islam juga sangat memahami kelemahan manusiawi dan keadaan darurat yang mungkin dihadapi. Dalam kondisi lemah dan darurat, Islam memperbolehkan seorang muslim menggunakan yang haram demi menghilangkan kondisi darurat itu dan menyelamatkan dirinya dari kebinasaan.

    “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah 173)

    Dalam ayat tersebut dapat dilihat syarat pemanfaatan yang haram untuk kondisi darurat yaitu : tidak sengaja menginginkannya, dan tidak melampaui batas. Maksudnya ialah, apabila masih ada yang halal dan lebih baik, maka seorang muslim tetap wajib menggunakan yang halal tersebut, namun apabila yang halal sudah tidak ada lagi sedangkan yang ada adalah yang haram, maka ia diperbolehkan memanfaatkan yang haram tersebut sebatas jumlah yang dibutuhkan untuk bertahan dari kebinasaan. Tidak menikmati hingga kekenyangan dan berlebih-lebihan.

    Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah” (An Nisaa’ 28)

0 komentar:

Posting Komentar