• Halal dan Haram dalam Islam (bagian dua)

    Alhamdulillah malam ini kembali dapat menuliskan apa yang belum sempat diselesaikan pada postingan sebelumnya. Memang harus segera diselesaikan. Terutama setelah ada masukan dari seorang kakak yang menyatakan bahwa menuliskan hukum sepenggal-sepenggal tanpa penjelasan bisa sangat berbahaya apabila disalah tafsirkan oleh pembaca.

    Langsung saja, mari kita bahas point per point dari prinsip Islam tentang hokum halal dan haram.

    ***

    Point Pertama, Pada dasarnya segala sesuatu hukumnya boleh.
    Ibnu Taimiyah berkata, “Tingkah laku manusia, baik berupa perkataan maupun tindakan, ada dua macam: ibadah yang dengannya ia memperbaiki agama, dan tradisi yang dengannya ia membangun dunia. Dengan mencermati pokok-pokok syariat, kita memahami bahwa ibadah yang diwajibkan dan dicintai Allah tidak dapat ditunaikan kecuali dengan syariat. Adapun adat istiadat, ia adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam urusan dunia yang mereka butuhkan. Prinsip dasar hukumnya adalah tidak ada larangan kecuali apa-apa yang dilarang oleh Allah.” (dalam Al Qawaidun Nuraniyah Al Fiqhiyah karangan Ibnu Taimiyah halaman 112-113)

    Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kehidupan manusia sebenarnya dapat dikelompokkan dalam dua aktivitas yaitu ibadah dan muamalah. Pertama, prinsip ibadah adalah ditunaikan sesuai syariat Allah karena ibadah itu sendiri bersifat tauqifi (instruksi). Melakukan ibadah tanpa mengikuti syariat maka hukumnya terlarang. Sehingga hakikat ibadah ada dua, yaitu; tidak beribadah kecuali kepada Allah dan tidak beribadah kepada Allah kecuali sesuai dengan petunjuk-NYA.

    “ Barangsiapa membuat-buat dalam urusan kami selain bagian darinya, ia tertolak” ( HR Daruquthni dan dishahihkan oleh Imam Nawawi)

    Kedua, prinsip muamalah adalah segala sesuatu hukumnya boleh kecuali ada dalil shahih dari Allah yang mengharamkannya. Jika tidak ada dalil shahih yang menunjukkan keharamannya maka sesuatu dikembalikan pada hokum dasarnya yaitu boleh (halal). Bentuk muamalah seperti jual beli, kontrak kerja, perdagangan, pemberian, dan semisalnya diatur dengan syariat yang tegas. Apa yang baik dihalalkan dan apa yang buruk diharamkan seperti riba misalnya.

    “Yang halal adalah segala sesuatu yang Allah halalkan dalam Kitab-NYA, dan yang haram adalah segala sesuatu yang Allah haramkan dalam Kitab-NYA. Sedangkan apa yang didiamkan-NYA maka ia termasuk yang dimaafkan kepada kalian.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    Sehingga kita dapat mengambil kaidah : “Ibadah tidak diperintahkan kecuali oleh syariat Allah dan muamalah tidak dilarang kecuali dengan larangan Allah”.

    Point Kedua, Penghalalan dan Pengharaman hanyalah Wewenang Allah
    Wewenang halal dan haram adalah pada Allah semata. Tidak ada satupun makhluk di alam raya ini yang berhak mengharamkan dan menghalalkan sesuatu atas hamba-hamba-NYA. Tidak pula pendeta, rahib, raja, sebagaimanapun kedudukannya dimata manusia. Barangsiapa yang melakukan penetapan halal haram kepada makhluk Allah tanpa izin dari Allah berarti telah merampas hak dan wewenang Allah serta termasuk kaum yang melampaui batas.

    Pun para ulama atau ahli fiqih Islam yang tidak diragukan lagi keimanan dan ijtihad mereka, tetap tidak memiliki wewenang untuk membuat syariat atas halal dan haram. Tugas mereka hanyalah menjelaskan hokum Allah dalam hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan.

    Point Ketiga, Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram adalah Termasuk Kemusyrikan
    Islam memberikan wewenang halal dan haram kepada Allah semata. Sehingga Islam mengecam siapapun makhluk-NYA yang mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Namun secara khusus Islam lebih mengecam keras kepada yang mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah. Karena sifatnya telah mempersempit apa yang dilapangkan oleh Allah. Dan yang melakukan perilaku pengharaman ini digolongkan musyrik. Hal ini pernah terjadi pada masa jahiliyah, yaitu semasa pengharaman bahiirah, saaibah, washiilah dan haam.

    Pada masa itu, ketika seekor unta melahirkan lima kali dan yang terakhir adalah jantan, maka kaum jahiliyah mengiris telinganya dan melarangnya dikendarai. Mereka dibiarkan untuk tuhan-tuhan kaum jahiliyah, tidak disembelih, tidak untuk angkutan, tidak boleh diusir dari sumber air atau padang rumput. Unta jantan yang diiris telinganya ini disebut sebagai bahiirah.

    Lalu, apabila ada seorang musafir yang baru pulang dari pengembaraannya atau seorang yang baru sembuh dari sakitnya, maka mereka melepaskan untanya dengan bebas dan diberi larangan-larangan layaknya larangan bagi bahiirah. Unta bebas ini kemudian disebut saaibah.

    Jika ada kambing yang melahirkan jantan, maka kaum jahiliyah memberikannya untuk tuhan-tuhan mereka. Mereka tidak akan menyembelihnya dan dinamakannya washiilah (penyambung).

    Apabila ada kuda jantan yang mengawini anak dari anaknya sendiri, maka kaum jahiliyah melarang kuda jantan ini untuk dinaiki dan dijadikan angkutan. Kuda jantan ini lalu disebut haami (yang menjaga).

    Al Qur’an mengingkari bentuk-bentuk pengharaman atas unta, kuda dan kambing diatas. Dan tidak mentolerir bentuk ketaatan kaum jahiliyah kepada nenek moyangnya yang sesat tersebut.

    “Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Al Maidah 103-105)

    *bersambung*

0 komentar:

Posting Komentar